Arti, makna, hakikat dan hikmah Hari Raya Idul Fitri Lebaran bisa
berbeda-beda antara individu satu dengan individu lainnya. Masing-masing
umat Muslim tentu punya perspektif dan cara pandang yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya.
Yang jelas, Nabi Muhammad Saw dalam sejarah idul fitri pertama kalinya punya tujuan dan maksud tersendiri dengan adanya hari raya bagi umat Islam. Dalam Al Quran, makna dan hikmah Idul Fitri tidak dijelaskan secara gamblang.
Hanya saja, dalam sebuah riwayat hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan An Nasa'i, Rasulullah Muhammad Saw pernah bersabda: "Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya (baca: Nairuz dan Mahrajan, hari raya masyarakat Arab sebelum Islam datang) dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.
Dengan literasi yang minim tentang makna dan hikmah hari raya idul fitri yang dijelaskan secara gamblang, masing-masing umat Islam tentu punya tafsir yang berbeda untuk memaknai idul fitri. Atau bahkan, masing-masing individu punya pengalaman spiritual tentang hakikat Lebaran.
Arti Lebaran dalam bahasa Jawa
Dalam bahasa Jawa, idul fitri identik dengan istilah Lebaran yang berarti "selesai". Hal itu untuk menandai berakhirnya bulan suci Ramadhan dengan puasa penuh selama 30 hari dengan pesta kemenangan.
Dalam bahasa Jawa, idul fitri identik dengan istilah Lebaran yang berarti "selesai". Hal itu untuk menandai berakhirnya bulan suci Ramadhan dengan puasa penuh selama 30 hari dengan pesta kemenangan.
Banyak umat Muslim yang berpandangan umum seperti ini. Manusia selama
Ramadhan diminta untuk jihad, berjuang melawan hawa nafsu berupa makan
dan minum, serta tidak berhubungan suami-istri.
Setelah berjuang melawan nafsu tersebut, umat Islam merayakan kemenangannya melalui hari raya Lebaran. Umat Muslim justru diharamkan untuk puasa pada hari raya Idul Fitri.
Perspektif Cak Nun
Namun, budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun justru memaknai Idul Fitri lebih mendalam, substansial, dan filosofis. Menurutnya, berhari raya itu mudah, tetapi beridul fitri diakui sangat sulit.
Dihimpun redaksi Islamcendekia.com dari berbagai sumber, Idul Fitri artinya adalah fitrah atau kembali ke asal muasal. Ibarat manusia, lahir kembali menjadi bayi.
Selama Ramadan, manusia diminta untuk tidak makan, tidak minum, tidak mengumbar hawa nafsu (hubungan suami-istri) dan hal-hal yang melanggar dosa lainnya. Artinya, manusia diminta untuk mengikis diri yang serba material (kulit, tulang, dan segala sifat material tubuh).
Dengan mengikis diri, manusia diajak untuk melakukan dematerialisasi atau ruhanisasi yang pada akhirnya bisa kembali kepada Tuhan yang Maha Esa. Setelah proses menuju Allah tercapai, maka diri ini adalah fitri.
Maka, Cak Nun sebetulnya berpendapat, Idul Fitri mestinya tidak ada. Sebab, setelah proses puasa Ramadan berhasil mencapai Tuhan dari hasil pengikisan diri, maka secara otomatis manusia akan fitri, fitrah, kembali ke asal muasal, yaitu Tuhan itu sendiri.
Namun, manusia diakui punya dua sisi fitrah, yaitu wadag (material) dan ruh (imaterial). Dengan demikian, idul fitri yang artinya hari pesta atau yaumul haflah diperlukan untuk merayakan hari kemenangan pada sisi wadag.
Lagipula, Nabi Muhammad Saw sudah menetapkan Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 1 Syawal sebagai hari raya umat Islam sedunia. Semoga, kita bisa mencapai fitrah dalam merayakan Idul Fitri dan mau memaafkan dosa-dosa kerabat, serta semua manusia. Amin.
Setelah berjuang melawan nafsu tersebut, umat Islam merayakan kemenangannya melalui hari raya Lebaran. Umat Muslim justru diharamkan untuk puasa pada hari raya Idul Fitri.
Perspektif Cak Nun
Namun, budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun justru memaknai Idul Fitri lebih mendalam, substansial, dan filosofis. Menurutnya, berhari raya itu mudah, tetapi beridul fitri diakui sangat sulit.
Dihimpun redaksi Islamcendekia.com dari berbagai sumber, Idul Fitri artinya adalah fitrah atau kembali ke asal muasal. Ibarat manusia, lahir kembali menjadi bayi.
Selama Ramadan, manusia diminta untuk tidak makan, tidak minum, tidak mengumbar hawa nafsu (hubungan suami-istri) dan hal-hal yang melanggar dosa lainnya. Artinya, manusia diminta untuk mengikis diri yang serba material (kulit, tulang, dan segala sifat material tubuh).
Dengan mengikis diri, manusia diajak untuk melakukan dematerialisasi atau ruhanisasi yang pada akhirnya bisa kembali kepada Tuhan yang Maha Esa. Setelah proses menuju Allah tercapai, maka diri ini adalah fitri.
Maka, Cak Nun sebetulnya berpendapat, Idul Fitri mestinya tidak ada. Sebab, setelah proses puasa Ramadan berhasil mencapai Tuhan dari hasil pengikisan diri, maka secara otomatis manusia akan fitri, fitrah, kembali ke asal muasal, yaitu Tuhan itu sendiri.
Namun, manusia diakui punya dua sisi fitrah, yaitu wadag (material) dan ruh (imaterial). Dengan demikian, idul fitri yang artinya hari pesta atau yaumul haflah diperlukan untuk merayakan hari kemenangan pada sisi wadag.
Lagipula, Nabi Muhammad Saw sudah menetapkan Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 1 Syawal sebagai hari raya umat Islam sedunia. Semoga, kita bisa mencapai fitrah dalam merayakan Idul Fitri dan mau memaafkan dosa-dosa kerabat, serta semua manusia. Amin.
Sumber : http://www.islamcendekia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar