drop down

Senin, 09 September 2019

MENGAJAR DENGAN HATI


“Betapa bahagianya menjadi seorang guru yang tampil penuh kharisma dihadapan siswanya. Sosok guru yang selalu dirindukan kedatangannya, diamnya disegani, tutur katanya ditaati,  dan kepergiannya ditangisi.”

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”( UU Sisdiknas pasal 1 ayat 1 )
Pendidikan adalah sebuah dunia yang lahir dari rahim kasih sayang. Pendidikan harus berlangsung dalam suasana kekeluargaan dengan pendidik sebagai orang tua dan anak didik (murid) sebagai anak. Pendidikan dilakukan dengan hati lewat ungkapan rasa kasih sayang (love), keikhlasan (sincerely), kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual), dan suasana kekeluargaan (family atmosphere).  Guru tidak dibatasi waktu dan tempat dalam mendidik siswa, sebagaimana orang tua mendidik anaknya. Guru harus ikhlas dalam memberikan bimbingan kepada para siswanya sepanjang waktu. Demikian pula tempat pendidikannya tidak terbatas hanya di dalam ruang kelas saja, dimanapun seorang guru berada, dia harus sanggup memainkan perannya sebagai seorang pendidik yang sejati. Fenomena ini yang kini hilang dari sistem pendidikan nasional kita sekarang.
Mulai meredupnya nuansa kasih sayang dalam interaksi antara guru dengan siswa telah melahirkan sikap guru yang lebih suka menghukum daripada tersenyum. Guru lebih suka menghardik daripada bersikap empatik. Guru yang baik adalah guru yang melandasi interaksinya dengan siswa diatas nilai-nilai cinta dan kasih sayang. Dengan cintalah akan lahir keharmonisan. Diera globalisasi yang selalu mengedepankan emosi di sisi hati, ditengah mewabahnya kekeringan sosial dan krisis kesantunan moral, maka sebuah keniscayaan bagi guru untuk merevitalisasi penanaman sikap santun dan keramahan di sekolah sebagai lembaga rekayasa sosial. Seperti yang katakan oleh pakar pendidikan kita Arif Rahman bahwa diera reformasi yang serba kebablasan ini guru harus mengajar muridnya dengan hati (cinta dan kasih sayang) bukan emosi.
Sikap cinta dan kasih sayang seorang guru tercermin melalui kelembutan, kesabaran, penerimaan, kedekatan, keakraban, serta sikap-sikap positif lainnya dalam berinteraksi dengan lingkungannya, khususnya dengan para siswa. Sosok guru yang selalu menebar kasih sayang pada siswa akan melahirkan sebuah kharisma. Siswa akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya, serta menempatkan dia sebagai sosok yang berwibawa dan disegani. Cinta adalah sikap batin yang melahirkan kelembutan, kesabaran, kelapangan, kreativitas, serta tawakkal. Jaring-jaring cinta yang kita tebar dengan penuh keikhlasan akan tersambut positif oleh siswa. Sesuai dengan kalimat hikmah “Siapa menanam, dialah yang akan memetik hasilnya.”
Respon balik dari rasa cinta siswa bisa terwujud melalui sikap-sikap positif. Misalnya penghormatan, kepatuhan, motivasi belajar, kecintaan terhadap tugas, dan rasa ingin selalu menghargai guru yang dicintainya. Dengan sikap-sikap seperti ini maka siswa akan merasakan bahwa belajar sudah bukan lagi sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan bahkan keasyikan. Maka akan muncul gairah untuk berprestasi didalam jiwa siswa. Namun dalam realita dilapangan , ungkapan rasa cinta guru tidak mudah ditangkap oleh siswa. Mengungkapkan kata cinta tidak semudah mengucapkan. Dibutuhkan kiat dan seni tersendiri agar sinyal cinta guru dapat dipahami siswa.
Bagaimana mewujudkan Mengajar dengan hati di sekolah? Ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh guru:

Kelembutan sikap

Modal utama cinta salah satunya adalah kelembutan sikap. Kelembutan akan melahirkan cinta, dan perasaan cinta akan semakin merekatkan hubungan antara guru dengan siswanya. Bila seseorang mencintai sesuatu, pasti ia akan berperilaku lembut terhadap sesuatu yang dicintainya tersebut. Jika siswa selalu menemukan kelembutan setiap kali berinteraksi dengan guru, maka siswa akan meyakini bahwa gurunya memang mencintai mereka. Hampir semua guru berkeinginan untuk mencintai dan dicintai siswanya. Namun tidak semua guru berhasil melakukannya. Kiat-kiat untuk melembutkan hati guru: pertama, jangan pernah ragu menyatakan “aku juga mencintaimu” terhadap siswa. Menurut Gary Chapman, semua tingkah laku  anak adalah “bahasa cinta.” Dari tingkahnya yang beraneka rupa ,anak mengharap respon positif dari orang dewasa. Oleh karena itu kita tidak boleh tergesa-gesa  menstempel/cap hitam terhadap anak  yang bertingkah polah negatif, tetapi segeralah kita menangkap pesan cinta  dari anak tersebut. Disinilah muasal hati menjadi lunak dan lembut. kedua, nyatakan “aku hadir demi kamu.” Jika guru menganut filsafat ini maka, bagaimanapun karakter siswa yang dihadapi, guru akan mampu menerima dan menghadapinya dengan bijak. ketiga, nyatakan “akulah sahabatmu.” Apabila ada teman yang selalu setia bersama kita di kala susah atau senang, maka dialah teman sejati. Guru jangan jadi model “polisi” yang akan menjadi teman dinas bagi siswanya. Sebagai teman sejati guru harus mampu menciptakan komunikasi “pemecah es” untuk memecahkan kebekuan suasana dalam berinteraksi dengan siswa.

Memenej Emosi

Guru harus pandai memenej emosinya secara baik dan canggih. Jangan sampai mencampuradukan persoalan pribadi dengan masalah sekolah. Bila guru ingin meluapkan emosi yang sulit dibendung dihadapan siswa, hendaklah dengan cara duduk, jangan dengan berdiri apalagi dengan berkacak pinggang. Bila amarah belum reda, cobalah dengan berbaring sejenak, dan bila dengan berbaring masih belum mampu mengendalikan perasaan marah maka, hendaklah mengambil air wudhu /cuci muka. Api amarah akan padam mereda bila disiram dengan air.

Hindari Prakonsepsi Negatif ( Su’udzanisme)

Dalam menghadapi siswa yang bikin ulah dikelas, selaiknya guru jangan mudah terbawa arus emosional yang bersifat negatif. Stempel atau cap negatif akan menyebabkan hubungan guru dan murid menjadi tersekat, tidak netral, bahkan penuh dengan prakonsepsi negatif. Untuk menghindari hal seperti itu guru harus mampu menjadi sosok yang pemaaf. Seorang guru harus memahami bahwa anak berbuat kesalahan lebih karena dorongan naluri kekanak-kanakannya ketimbang pertimbangan rasionalnya. Buatlah kondisi interasi kembali netral dengan maaf.

Hadirkan mereka dalam doa

Guru adalah orang tua kedua bagi anak. Maka, hendaklah guru berusaha berbuat sebagaimana dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Mendoakan anak secara rahasia merupakan keniscayaan bagi guru yang kini banyak terlupakan. Guru selain sebagai pengajar dan pendidik serta yang tidak kalah pentingnya adalah menjadi pendoa bagi anak didiknya.
Sejalan dengan pemikiran diatas, sebenarnya ada tiga hal yang sangat dibutuhkan siswa disekolah. Pertama lingkungan belajar yang aman dan nyaman, kedua sekolah sebagai rumah kedua, dan ketiga komunitas teman sebaya. Lingkungan belajar yang aman dan nyaman meliputi sarana dan prasarana fisik serta suasana belajar yang enjoy learning. Belajar akan efektif jika berada dalam keadaan yang menyenangkan. Berangkat dari rasa kegembiraan itulah maka akan bangkit minat, adanya keterlibatan penuh, tercipta makna, adanya pemahaman atau penguasan materi serta munculnya nilai yang membahagiakan.
Guru sebagai sosok yang pantas digugu dan ditiru, penting menempuh pendekatan yang disertai dengan kelembutan terhadap anak didik. Menurut Rudolf Dreikurs, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh guru untuk mengembangkan sekolah ramah anak. Pertama, jadilah guru yang tidak lagi bertindak sebagai penguasa kelas atau mata pelajaran, tetapi bertindaklah sebagi pembimbing kelas atau mata pelajaran; kedua, kurangi kelantangan suara dan utamakan keramahtamahan suara; ketiga, kurangi sebanyak mungkin nada memerintah dan diganti dengan ajakan; keempat, hindarkan sebanyak mungkin hal-hal yang menekan siswa; kelima, hal-hal yang menekan diganti dengan pemberian motivasi terhadap anak sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, tetapi pemberian stimulus; dan keenam, jauhkan sikap guru yang ingin”menguasai”siswa karena sikap yang lebih baik ialah mengendalikan siswa. Hal yang terungkap bukan kata-kata mencela, tetapi kata-kata guru yang membangun keberanian dan kepercayan diri siswa.
Sekolah merupakan miniatur kehidupan dalam masyarakat. Karena itu, selain diberi pembelajaran dalam keseharian, para siswa juga diajak mengembangkan aspek persaudaraan dan solidaritas antar teman sebagai bekal kehidupan bersosisalisasi dalam hidup bermasyarakat. Pengembangan aspek kemanusiaan ini bisa tercipta jika guru dapat menciptakan iklim pembelajaran dikelas yang kondusif dengan menerapkan model-model pembelajaran yang menantang siswa berfikir kritis dan kreatif. Lewat sekolah, siswa diajarkan rasa saling menghormati dan mencintai perbedaan dalam segala bidang baik dengan teman, guru dan masyarakat sekitar. Siswa tidak cukup hanya menerima perbedaan, tetapi lebih penting lagi mencintai kebersamaan dalam perbedaan.
Mau dan mampukah guru menanam dan menyemai cinta di hatinya untuk siswa-siswinya ? harus ! Karena keputusan seseorang menjadi seorang guru haruslah memahami resiko-resiko yang akan ia hadapi sebagai orang yang berprofesi sebagai pendidik, dengan semangat totatalitas kerja yang tinggi. Selamat menebar pesona cinta untuk semua siswanya bagi sang pahlawan cendekia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar