Organisasi masyarakat berbasis keagamaan (selanjutnya ditulis ormas
keagamaan) di Indonesia menjadi salah satu gerakan sipil yang sangat
berperan penting dalam mencerdaskan anak bangsa. Beberapa Ormas
keagamaan besar tidak hanya berkutat dalam hal keagamaan tetapi juga
meluaskan perannya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hefner menyebutkan gerakan ini dengan istilah civil-Islam sebagai anti tesa dari Islam rezimis.
Tidak mengherankan jika kita melihat ormas keagamaan yang mengambil
peran dalam mengadvokasi kelompok marjinal, kelompok miskin, perempuan,
masyarakat pinggiran dan hak-hak sipil lainnya. Ormas keagamaan telah
menjadi salah satu corong dalam konteks bernegara yang memainkan peran
penting sebagai “jembatan” antara masyarakat dan negara. Dalam konteks
demokrasi, apa yang dimainkan oleh ormas keagamaan di Indonesia tidak
berada dalam permainan politik kekuasaan, tetapi politik kenegaraan,
yakni perjuangan pemenuhan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Terkait dengan peran penting ormas keagamaan tersebut, saya melihat
ada sesuatu yang harus dilengkapi dalam konteks kenegaraan hari ini.
Ormas keagamaan dewasa ini harus konsen tidak hanya pada pemenuhan hak
warga negara, tetapi juga kewajiban atau tanggungjawab sebagai warga
negara. Pendidikan kewargaan (civic education) mutlak dilakukan agar masyarakat memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara sekaligus.
Kenapa hal itu penting? Melemahnya aspek tanggungjawab kewargaan
dalam konteks bernegara sangat dikhawatirkan. Tanggungjawab kewargaan
dalam konteks keagamaan dapat dipahami bahwa ormas keagamaan di
Indonesia harus mampu mendistribusikan wawasan dan pengetahuan
masyarakat untuk menanamkan sikap relijius dalam bingkai bernegara.
Menjaga toleransi, menjaga kerukunan, menjaga lingkungan sosial di
tengah perbedaan sekaligus menjaga kedaulatan negara dari kelompok
tertentu yang mengatasnamakan agama adalah bagian penting untuk
dielaborasi.
Tanggungjawab kewargaan umat beragama dalam konteks hubungan antar
dan intra agama yang harus ditegaskan saat ini adalah bagaimana ormas
keagamaan mendidik umatnya untuk tidak gampang mengkafirkan,
membid’ahkan, menuduh sesat dan mengedepankan kekerasan. Hal ini mutlak
dilakukan oleh ormas keagamaan di tengah kondisi masyarakat beragama
yang rentan terhadap penghasutan dan penyebaran kebencian, sekaligus
maraknya propaganda dan hasutan dari kelompok yang tidak
bertanggungjawab.
Dalam tataran praktis, ormas keagamaan, misalnya, tidak hanya gampang
mengeluarkan fatwa tetapi juga memperhitungkan tanggungjawab fatwa dan
implikasinya di tengah umat-bukan hanya beragama, tetapi- yang beragam.
Berulang kali, kita mendengar fatwa tentang Ahmadiyah, Syiah, Gafatar,
dll. Tetapi fatwa-fatwa tersebut seharusnya dibarengi dengan fatwa
tanggungjawab umat beragama dalam konteks bernegara.
Fatwa-fatwa yang lebih kokoh yang sangat ditunggu misalnya kewajiban
Umat beragama untuk tidak saling menghasut, umat beragama tidak boleh
main hakim sendiri, umat beragama tidak asal menuduh, umat beragama
tidak boleh mengancam dan melakukan kekerasan terhadap kelompok sesat
sekalipun. Fatwa-fatwa ini masih menjadi lubang yang tidak dilengkapi
dalam mendidik umat dengan beragam fatwa. Sekaligus lubang ini sering
dimanfaatkan kelompok radikal untuk menggiring opini masyarakat.
Karena itulah, hari ini sangat penting ormas sekelas MUI, NU,
Muhammadiyah dan ormas moderat lainnya harus tampil di depan bagaimana
mendidik umatnya tentang tanggungjawab umatnya dalam konteks bernegara.
Mendidik dan mengadvokasi umatnya sudah sangat sering kita dengar dan
hal itu sebuah prestasi ormas dalam konteks berdemokrasi.
Ke depan ormas harus mampu membuat teroboson membuat seruan,
instruksi, bahkan fatwa untuk menjadi jati diri umat beragama yang
bertanggungjawab dalam konteks bernegara. Ormas keagamaan tidak hanya
menggiring umatnya pada sudut kecil sekedar sebagai umat beragama tetapi
juga sebagai warga negara yang baik.
Sumber : http://jalandamai.org/mendidik-umat-tanggungjawab-kewargaan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar